Kamis, 03 Januari 2013

ushul fiqh ijma'


BAB I
PENDAHULUAN
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat dibawah dalil-dalil nash (Al-Qur’an dan Hadits) Ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Apabila terjadi suatu kejadian dan dihadapkan kepada seorang mujtahid umat Islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu, maka kesepkatan hal itu disebut ijma, kemudian dianggaplah ijma’ mereka atas suatu hukum mengenai hal itu, sebagai dalil bahwa hukum ini adalah hukum syariat Islam mengenai suatu kejadian. Ini ditetapkan setelah kewafatan Rasulullah SAW, karena sewaktu beliau masih hidup, beliau sendirilah sebagai tempat kembali hukum syariat Islam, sehingga tidak terdapat perselisihan mengenai syariat hukum Islam, dan tidak terjadi pula sebuah kesepakatan (ittifaq), karena kesepakatan itu tidak akan terwujud keculi dari beberapa orang.













BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Ijma’
Secara etimalogi, ijma’ terbagi kepada dua pegertian,[1] yaitu :
1. Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, misalnya perkataan :
جمع القوم على كذالك اذا التفقوا عليه
“Suatu kaum telah berijma’ begini, jika mereka telah sepakat begini.”
2. Ijma berarti tekad atau niat yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini dapat dilihat pada surat Yunus ayat 71:
(#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uŽà°ur
 “ Karena itu bulatkanlah keputusan dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).” (QS. Yunus : 71)
Pengertian tersebut juga terdapat dalam sabda Nabi SAW ;
لا صيام لمن لم يجمع الصيام من الليل (روه ابو داود(
“ Tidak sah puasa seseorang yang tidak membulatkan niat puasanya pada malam harinya.” (HR. Abu Dawud)
Adapun pengertian ijma’ secara terminologi, para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikannya[2]:
a. Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua ulama mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
b. Pengarang kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. terhadap masalah syara’.
·         Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Kallaf, ijma’ menurut istilah ulama ushul ialah kesepakatan semua mujtahidin diantara umat islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW. atas hukum syar’I mengenai suatu kejadian atau kasus.
·         Prof. Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwasanya ijma’ itu adalah kesepakatan para mujtahid dalam dalam suatu masa setelah wafatnya Rosulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaly).
·         Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “ kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.” Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW. yaitu seluruh umat Islam, termasuk orang awam. Al-Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa berijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rosulullah SAW. Alasannya, karena pada masa Rosulullah ijma tidak diperlukan, sebab keberadaan Rosulullah SAW. sebagai syar’I (penentu/pembuat hukum) tidak memerlukan ijma’.[3]
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid yang ada di dunia islam terhadap hukum syara’ dari suatu kejadian atau peristiwa pada suatu masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
B. Syarat dan Rukun Ijma’
Berdasarkan definisi ijma’ diatas dapat diketahui bahwa ijma’ itu dapat terjadi bila telah memenuhi empat macam kriteria di bawah ini[4]:
a.       Adanya sebilangan para mujtahid pada waktu terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan beberapa pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai dengan yang lainnya.
b.      Adanya kesepakatan semua mujtahid umat Islam atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang negeri mereka, kebangsaannya atau kelompoknya.
c.       Adanya kesepakatan mereka itu dengan menampilkan pendapat masing-masing mereka mengenai suatu kejadian dengan jelas, baik berbentuk ucapan (qauli), misalnya dengan memberikan fatwa mengenai suatu kejadian, atau berbentuk perbuatan (Fi’li) misalnya suatu keputusan mengenai suatu hal atau kejadian. Atau penampilan pendapat menjatuhkan itu secara menyendiri, dan ketika telah dikumpulkan beberapa pendapat tampak jelas kesepakatannya.
d.      Dapat direalisir kesepakatan dari semua mujtahid atas suatu hukum. Seandainya pada sebagian mereka telah terjadi kesepakatan, maka tidaklah terjadi ijma’ atas dasar kesepakatan sebagian besar. Ketika jumlah penentang itu sedikit dan jumlah yang mufakat itu banyak berarti masih terdapat pula kemungkinan benar bagi suatu pihak dan kemungkinan salah (keliru) bagi pihak lainnya. Jadi, kesepakatan mayoritas itu tidak menjadi hujjah syar’iyyah secara pasti dan apalagi dikukuhkan.
Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut :
a.       Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mereka yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
b.      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c.       Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatanya.
d.      Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an dan atau hadits Rosulullah SAW.
C. Macam-macam Al-Ijma’
Macam-macam ijma’ jika dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu :
1. Ijma’ Sharih Yaitu semua mejtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi keputusan). Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati salah satunya. Ijma’ sharih ini merupakan ijma’ yang haqiqi, ijma’ yang dijadikan hujjah syar’iyyah menurut madzhab jumhur. Ijma’ sharih disebut juga dengan ijma’ bayani, ijma’ qauli atau ijma’ haqiqi.
2. Ijma’ Sukuti Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila telah memenuhi beberapa kriteria berikut :
a.       Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukan adanya kesepakatan, yang dilakukan oleh sebagian mujtahid. Maka tidak dikatakan ijma’sukuti, melainkan ijma’ sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid, itupun bukan ijma’sukuti.
b.      Keadaan diamnya para mujtahid itu cuku lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukaka hasil pendapatnya.
c.       Permasalahan yag difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat dzanni. Sedangkan permasalahan yang tidak boleh di-ijtihadi atau yang bersumber dari dalil-dalil qath’I, jika seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam. Hal itu tidak bisa disebut ijma’.[5]
Jika ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi kepada :
1. Ijma’ qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’I atau diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum adalah peristiwa atau kejadian yang telah ditetakan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
2. Ijma’ dzanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah dhanni. Masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
Selain macam-macam ijma’ diatas, dalam kitab-kitab ushul fiqh terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadinya, tempat terjadinya atau orang-orang yang melaksanakannya.[6] Ijma’-ijma’ itu adalah :
a.       Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
b.      Ijma’ khulafaur rasyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bun Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat orang itu hidup.
c.       Ijma’ syaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dab Umar bin Kattab.
d.      Ijma’ ahli madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama madinah. Madzhab Maliki menjadikan ijma’ ahli madinah ini sebagai salah satu sumber hukum islam.
e.       Ijma’ ulama kuffah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama kuffah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama kuffah sebagai salah satu sumber hukum islam.
Ijma’ tidak dipandang sah, kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu fatwa dalam masalah agama tanpa sandaran adalah ttidak sah. Sandaran ijma’ yang berupa dalil Al-Quran seperti firman Allah SWT. Surat An-Nisa ayat 23 :
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÌÈ  
Artinya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
D.  Kedudukan dan Status Al-Ijma’ dalam Ajaran Islam
Ijma’ bisa dijadikan hujjah atau alasan dalam menetapkan hukum kalau yang menjadi dasar adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT. Dalam QS. An-Nisa ayat 59 :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB (
 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (QS. An-Nisa ayat 59)
Para ulama yang menenapkan bahwa ijma’ itu hujjah, menetapkan pula bahwa ijma’ tersebut terletak dibawah derajat kitabullah dan sunnah Rasul an ijma’ itu tidak boleh menyalahi nash yang qath’I (kitabullah dan hadits masyhur).
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa nilai hujjah ijma’ ialah nilai dhanni bukan qath’i. Karena nilai hujjah ijma’ adalah dhanni, menurut pandangan kebanyakan ulama, maka ijma’ itu dapat dijadikan hujjah atau dipegangi dalam urusan amal, tidak dalam urusan I’tikad. Mengingat dalam urusan I’tikad haruslah ditetapkan oleh dalil yang bernulai qath’i.
Menurut Prof. Muhammad Abu Zahrah, jumhur Ulama berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah (argumentasi), berdasarkan dua dalil berikut :
1. Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka menurut Allah juga baik. Oleh karena itu amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi (hujjah).
2. Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 115
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtB ÇÊÊÎÈ  
“ Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya , dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin. Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia kedalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa : 115)




BAB III
KEISMPULAN
Dari keterangan diatas dapat di fahami bahwa ijma harus menyandar kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik langsung maupun tidak dan tidak mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut. Dan alasan ijma harus mempunyai sandaran adalah:
            Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandaranya, ijma’ tidak akan sampai pada kebenaran.
            Kedua: bahwa keadaanya sahabat tidak mungkin lebih baik dari pada nabi, sebagaimana diketahui, Nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan kepada wahyu.
            Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil adalah salah. Kalau mereka sepakat berbuat begitu berarti mereka sepakat melakukan kesalahan;
            Keempat: pendapat yang tidak di sandarkan kepada dalil tidak dapat di ketahui kaitanya kepada hukum Syara’. Kalau tidak dapat dihubungkan dengan Syara tidak wajib diikuti.
 Penutup
Demikianlah makalah yang dapat penulis paparkan, tentunya masih sangat jauh dari kesempurnaan tapi semoga saja yang kita pelajari ini bermanfaat, dengan harapan bisa menambah Pengetahuan dan keilmuan bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangan diharapkan untuk menjadi koreksi kedepan dan terima kasih kepada bapak dosen yang telah membimbing saya  semoga kita semua mendapat barokah dan kemanfa’atan ilmunya. Amien.




DAFTAR PUSTAKA
AL-QUR`AN
Khallaf, Abdul Wahab. 2002. Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Syafe’I, Rahmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Umam, Chaerul dkk. 1998. Ushul Fiqh I. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Zahrah, Muhammad Abu. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus.
Abidin, Zainal. 1987. Ushul Fiqh. Jakarta : Bulan Bintang


[1] Drs. Chaerul Umam,dkk. Ushul Fiqh I. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998). Hal : 73-74
[2] Prof. Dr. Rahmat Safe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007). Hal : 69
[3] Drs. Chaerul Umam,dkk. Ushul Fiqh I. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998). Hal : 74
[4] Prof. Dr. Abdul Wahab Kallaf. Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002). Hal : 63-64
[5] Prof. Dr. Rahmat Safe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007). Hal. 72-73
[6] Drs. Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh I. (Jakarta : Departemen Agama, 1985). Hal : 105-106

Tidak ada komentar:

Posting Komentar