Selasa, 01 Januari 2013

qowa'id tafsir


BAB I
A. Pendahuluan
Redaksi Al-Quran dalam wujudnya sekarang adalah rangkaian kalimat-kalimat yang terbentuk dari rangkaian kata-kata yang menyimpan sejumlah makna. Maka, untuk memahami makna suatu ayat mutlak harus melalui analisis terhadap redaksinya secara seksama, kata demi kata. Dalam kajian ilmu dilâlah (semantik), makna suatu kata atau kalimat (dalam istilah sehari-hari) dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu maksud pembicara, makna kata atau kalimat yang terucap, dan informasi obyektif dari apa yang dibicarakan. Dalam pada itu, ada kalanya maksud pembicara benar-benar sesuai dengan makna redaksi kalimat yang digunakan, tidak kurang dan tidak lebih. Namun ada kalanya maksud tersebut tidak sesuai dengan makna redaksi kalimat yang digunakan, melainkan hanya tersirat di dalamnya. Lalu dari kedua jenis makna tersebut tersimpul makna umum sebagai informasi obyektif yang selanjutnya dapat dijadikan pedoman bagi pengembangan dan kontekstualisasinya.[1] Wadlih atau Kejelasan Dalalah nash ialah makna yang ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa memperhatikan faktor luar . Jika nash itu menandung takwil, dan yang dimaksudkan bukan tujuan asal susunan katanya, disebut al-dhahir, jika mengandung takwil, bila yang dimaksudkan adalah tujuan asal susunan katanya, disebut al-nash, bila tidak mengandung takwil dan hukumnya menerima nash dinamakan al-mufassar (yang ditafsirkan), dan bila tidak mengandung takwil dan hukumnya tidak menerima nash, disebut al-muhakkam (yang ditentukan hukumnya).
Dalam kajian ilmu dilâlah, lafal dapat dibagi menjadi dua, yaitu lafal yang jelas petunjuknya (wâdhih al-dilâlah) dan lafal yang tidak jelas petunjuknya (ghayr wâdhih al-dilâlah). Lafal yang jelas dilâlah-nya adalah lafal yang petunjuknya dapat dipahami tanpa memerlukan qarinah (indikasi) dari luar lafal. Sedangkan lafal yang tidak jelas dilâlah-nya adalah lafal yang petunjuknya tidak dapat dipahami kecuali dengan mendatangkan qarinah (indikasi) dari luar lafal. Semuanya berangkat dari pemahaman yang sederhana, yaitu pemahaman yang dapat diambil dengan cepat ketika lafal itu diucapkan. Selanjutnya masing-masing dari kedua jenis lafal tersebut terbagi menjadi empat tingkat yang saling berlawanan. Lafal yang jelas petunjuknya terbagi menjadi zhâhir, nashsh, mufassar, dan muhkam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Wadih Ad-Dhalalah secara etimologi itu berasal dari dua kata antara wadih dan dhalalah. Wadih dapat diartikan sebagai lafadz  yang menjelaskan Dhalalahnya. Atau juga bisa di artikan sebagai makna yang ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa memperhatikan faktor luar . Jika nash itu menandung takwil, dan yang dimaksudkan bukan tujuan asal susunan katanya, disebut al-dhahir, jika mengandung takwil, bila yang dimaksudkan adalah tujuan asal susunan katanya, disebut al-nash, bila tidak mengandung takwil dan hukumnya menerima nash dinamakan al-mufassar (yang ditafsirkan), dan bila tidak mengandung takwil dan hukumnya tidak menerima nash, disebut al-muhakkam (yang ditentukan hukumnya).
Sedangkan Ad-Dhalalah dalam kajian ini ialah Petunjuk  lafazh kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi (mantuq, makna eksplisit yang tersirat) dan adakalanya pula berdasarkan pemahaman (mafhum, makna implisit yang tersirat)
Dasar perbedaan tingkatan-tingkatan kejelasan dalam Wadih Ad-Dhilalah itu ialah mengenai ada atau tidak adanya kemungkinan mentakwilkannya. Nash yang maknanya dapat dipahami dari bentuk nash itu sendiri, dan tidak ada kemungkinan dapat dipahami arti lainnya, maka nash itu lebih jelas dalalahnya dari pada nash yang maknanya dapat dipahami, tapi ada kemungkinan dapat dipahami arti yang lainnya
Secara garis besar wadlih Ad-Dhilalah atau lafaz dari segi kejelasan artinya, terbagi kepada dua macam:
  1. Lafaz yang telah terang artinya dan jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu beban hukum dapat ditetapkan tanpa memerlukan penjelasan dari luar.
  2. Lafaz yang belum terang artinya dan belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu


B.     Macam-Macam Wadih Ad-dhilalalh
pengkalsisfikasian Wadih Dilalah menurut Wahbah Zuhaili dalam bukunya Ushulul fiqh al-Islami dengan Ilmu Ushulul Fiqah karya Abdul Wahab Khalaf. keduanya mengklasifikasikan Dilalah wadih kepada empat bagian; 1. Dzhahir 2. Nash 3. Mufassar dan 4. Muhkam. Sehingga ada kemungkinan keduanya menganut paham Imam Hanafi dalam mengambil Qoidah Ushulul fiqh.
1.      Dzohir
Dzohir secara etimologi; bearti jelas. Sedangkan menurut terminologinya Menurut Al-Sarkhisi, Dzahir adalah
مَا يُفْهَمُ الْمُرَادُ مِنْهُ بِنَفْسِ السَّمَاعِ مِنْ غَيْرِ تَأَمُّلٍ
Dari apa-apa yang didengar meskipun tanpa pemahaman yang mendalam dapat diketahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh pembicara dengan lafaz itu[2]
Zhâhir, yaitu apa yang menunjukan maksud daripadanya itu dengan sighat itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhadap urusan luar. Dan apa yang dimaksudnya itu ialah hal-hal yang menjadi pokok pembicaraan. Dia mengandung takwil. Bila ada maksud memahami kata-kata tanpa memerlukan qarinah. Tidak ada maksud asli dari pembicaraan. Kata-katanya itu di’itibarkan dengan jelas.[3] Sebagaimana Firman Allah (يَآأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ )[4] atau ayat lainya ( الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا ) [5] kedua Ayat diatas memiliki Dilalah yang cukup jelas sehingga tidak perlu mentakwilkannya secara lebih ekplisit lagi.
ketika maksud suatu ayat dapat dipahami tanpa memerlukan penukilan terhadap ma'na lainya, akan tetapi bukan merupakan maksud asli dari konotasi bahasanya, maka hal itu dapat mengi'tibarkan kalam tersebut keapada-maksud kalam tersebut secara eksplisit
Contoh: { فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ }[6] ayat tersebut secara jelas menunjukan ke legalan berpoligami dalam memiliki istri, tetapi ma'nanya tidak menunjukan kepada arti luas dari ayat tersebut karena maksud utama dari konotasi ayat tersebut adalah meminimalisir jumlah istri dari empat atau satu saja sebagaimana diatas.
2.      Nash
Nash menurut definisi para ahli ushul: setiap lafadz yang menunjukan kepada ma'na atau maksud asli lafadz secara jelas, melalui konotasi lafadz tersebut dengan menggunakan perangkat takwil, takhsis dan menerima nasakh (khusus di masa turunya wahyu).
Menurut Ulama Hanafiyah, nash adalah:
هُوَ مَا دَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى الْمَعْنَى الْمَقْصُوْدِ أَصَالَةً عَلَى مَا سِيْقَ لَهُ وَ يَحْتَمِلُ التَّأْوِيْلِ
Lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan ditakwilkan.[7]

Contohnya: { وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا }[8] disatu pihak ayat tersebut menunjukan pengingkaran "misal" dan di pihak lain menerangkan perbedaan antara; jual beli dengan riba dari segi halal dan haramnya. Maksud ayat tesebut jelas yaitu pelegalan jual beli dan pelarangan riba, sebagai sanggahan terhadap statemen orang Yahudi terhadap riba yang terdapat pada ayat sebelumnya { إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا }[9]
3.      Mufassar
Menurut Al-Uddah, mufassar adalah:
مَا يُعْرَفُ مَعْنَاهُ مِنْ لَفْظِهِ وَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى قَرِيْنَةِ تَفْسِيْرِهِ
Sesuatu lafaz yang dapat diketahui maknanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarinah yang menafsirkannya.[10]
Jadi, lafaz mufassar adalah penunjukannya terhadap maknanya jelas sekali, penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarînah dari luar, serta tidak mungkin dita’wîl-kan[11]



Dalam menerangkan suatu lafadz, Mufasssar terbagi dua bagaian.
·         Bayanu at-Taqrir.
Yaitu suatu keterangan dengan perfikasi takhsisulafdzi, majaz dan takwil apabila berbentuk umum dan mengubahnya menjadi lafadz muakkad.
·         Bayanu at-Tafsir.
Yaitu suatu keterangan dengan menafsirkan ma'nanya yang tersembunyi meliputi lafadz tersebut serta menjelaskanya sehingga lebih eksplisit.
4.      Muhkam
Muhkam menurut terminologi para ahli Ushul; Yaitu lafadz yang menunjukan kepada ma'nanya melalui konotasi lafadz tersebut secara jelas dan terperinci tanpa menggunakan takwil, takshsis dan nasakh. Hal tersebut karena lafadz Mufassar menyangkut permasalahan asasi, seperti halnya Ushulul Iman, Ushulul fadhail dan Qaidah akhlakiah.
Secara jelas, Lafaz yang muhkam ialah:
مَادَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى مَعْنَاهُ الْوَضْعِىِّ دَلَالَةً وَاضِحَةً بِحَيْثُ لَايَقْبَلُ الْإِبْطَالَ وَ التَّبْدِيْلَ وَ التَّأْوِيْلَ
Suatu lafaz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan pembentukan lafaznya secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan, penggantian maupun ta’wil.[12]

Muhkam juga dapat berarti lafal yang menujukkan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup kemungkinan untuk di-ta’wil, dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pula kemungkinan pernah dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya. Hukum yang ditunjukkannya tidak menerima pembatalan (nasakh), karena merupakan ajaran-ajaran pokok yang tidak berlaku padanya nasakh, misalnya kewajiban menyembah hanya kepada Allah, kewajiban beriman kepada rasul dan kitab-kitab-Nya, dan pokok-pokok keutamaan, seperti berbuat baik kepada kedua orang tua, dan kewajiban menegakkan keadilan. Ayat-ayat seperti ini menunjukkan kepada pengertiannya secara pasti (qath’i), tidak berlaku ta’wil padanya, dan tidak pula ada kemungkinan telah di-nasakh pada masa Rasulullah[13]
Contoh ayat :
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ  
Artinya : Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Maksudnya kata #Yt/r& di atas adalah bahwa tidak akan diterima kesaksian mereka itu berlaku untuk selama-lamanya, artinya tidak bisa dicabut.


Dalam kitab Ushulul Fiqh Alislami, Wahbah Zuhuaili mengkalsisifikasikan Muhkam kepada dua tema;
Pertama ; Muhkam lizâtihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul dari lafaz-nya dan diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak mungkin di-nasakh.[14]
Kedua ; Muhkam lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak didapatnya lafaz itu di-nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash me-nasakh-nya. Lafaz dalam bentuk ini dalam istilah ushul disebut lafaz yang qath’i penunjukannya terhadap hukum.[15]



BAB III
KESIMPULAN & PENUTUP

Setipa Dilalah (Dhohir, Nash, Mufassar dan Muhkam), maka kedudukanya wajib menjadi sebuah supremasi hukum secara qath'i dan yakin, akaN tetapi ke-empatnya memiliki kemungkinan pertimbangan, yaitu; ketika terjadi pertimbangan ma'na terhadap dalil-dalil yang kontradiksi.
Adapun alternatif pengambilan hukum terhadap dilalah yang memang mengalami kontradisksi, maka setidaknya kita harus memilih dilalah mana yang paling kuat dari ke-empat macam lafadz tersebut Karena ke-empatnya memiliki tingkatan hukum serta kekutan ma'na yang berbeda-beda. Adapun tingkatan hukum yang peling kuat dan jelas menurut tingkatanya adalah: Almuhkam, Mufassar, Nash dan terakhir Dzohir.
Contoh kontradiksi; antara dzohir dan nash;
Dalam sebuah Ayat {Wa ahllallohu maa waraa'a dzlikum}, dengan ayat lain: {Fankihuu maa Thoaba lakum min annisa'i mastna wa tsulasa wa rubaa'a}. Kedua ayat tersebut sama-sama menunjukan kelegalan berpoligami, akan tetapi ayat pertama berbentuk dzohir, tanpa ada batasan jumlah (red;istri), sedang pada ayat ke-dua berbentuk nash, karena menunjukan batas jumlah istri dalam ber-poligami (satu sampai empat istri), serta larangan melebihkannya. Secara langsung kedua dilalah ini menunjukan sebauh kontradiksi ma'na. Adapun caranya dengan mendahulukan nash, dengan alasan nash lebih kuat dibandingkan dzohir dalam pengamalan dan pengambilan istinbath hukumnya, karena nash bersifat global mencakup kedua dilalah dengan mempertimbangangkan (lafadz dzohir) sebagai tamtsil terhadap pertimbangan lain yang sepakat dengan nash. Hal ini sesui dengan kaidah umum ushul fiqh; Al-aqwa yuqoddimu ala adh'ap i'nda Att-aarud
Sekian Penjabaran dari kami, kami harapkan teman-teman yang lebih mengerti tentang pembahasn ini dapat membantu dan melengkapi kekurangan-kekurangan dari makaah kami, kana makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sekian dan terimakasih.





Daftar pustaka
·         Al-Wadih fi Ushulul Fiqh, Maktabah Darr el-Salam, Kairo, cet I . Muhammad Abdullah Al-Asyroq, Tahun 2007
·         Al-Qu’an Mushaf Al Bantani, 2010.
·         Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008
·         Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Moh. Zuhri dan Ahamad Qarib, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994.
·         Khallaf, Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
·         Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009





[1] Al-Wadih fi Ushulul Fiqh, Maktabah Darr el-Salam, Kairo, cet I . Muhammad Abdullah Al-Asyroq, Tahun 2007 hal 7
Dalam tataran ilmu dilâlah praktis, yaitu menurut ulama ushul fiqh, maksud pembicara yang tidak sesuai dengan makna redaksi kalimatnya disebut sebagai isyârat al-nashsh atau dilâlat al-isyârah. Makna kalimat disebut sebagai `ibârat al-nashsh atau dilâlat al-`ibârah. Sedangkan informasi obyektif kalimat disebut sebagai dilâlat al-nashsh atau dilâlat al-dilâlah
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Ed. 1, Cet. v, Jakarta: Kencana, 2009, h. 4
[3] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, Cet. v, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005, h. 200
[4] QS. Al-Hajjj:1
[5] Ibid.An-Nur: 2
[6] Ibid. An-Nisa:3
[7] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Ed. 1, Cet. v, Jakarta: Kencana, 2009, h. 5
[8] QS.Al-Baqarah: 275
[9] Ibid
[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Ed. 1, Cet. v, Jakarta: Kencana, 2009, h. 9
[11] Iibid
[12] Ibid Hal. 11

[13] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. 1, Cet. ii, Jakarta: Kencana, 2008, h. 225-6.
[14]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Ed. 1, Cet. v, Jakarta: Kencana, 2009, h. 12
[15] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar