BAB I
A. Pendahuluan
Redaksi Al-Quran dalam
wujudnya sekarang adalah rangkaian kalimat-kalimat yang terbentuk dari
rangkaian kata-kata yang menyimpan sejumlah makna. Maka, untuk memahami makna
suatu ayat mutlak harus melalui analisis terhadap redaksinya secara seksama,
kata demi kata. Dalam kajian ilmu dilâlah (semantik), makna suatu kata
atau kalimat (dalam istilah sehari-hari) dapat diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu maksud pembicara, makna kata atau kalimat yang terucap, dan informasi
obyektif dari apa yang dibicarakan. Dalam pada itu, ada kalanya maksud
pembicara benar-benar sesuai dengan makna redaksi kalimat yang digunakan, tidak
kurang dan tidak lebih. Namun ada kalanya maksud tersebut tidak sesuai dengan
makna redaksi kalimat yang digunakan, melainkan hanya tersirat di dalamnya.
Lalu dari kedua jenis makna tersebut tersimpul makna umum sebagai informasi
obyektif yang selanjutnya dapat dijadikan pedoman bagi pengembangan dan
kontekstualisasinya.[1]
Wadlih atau Kejelasan Dalalah nash ialah makna yang ditunjukkan oleh
bentuk nash itu sendiri tanpa memperhatikan faktor luar . Jika nash itu
menandung takwil, dan yang dimaksudkan bukan tujuan asal susunan katanya,
disebut al-dhahir, jika mengandung takwil, bila yang dimaksudkan adalah tujuan
asal susunan katanya, disebut al-nash, bila tidak mengandung takwil dan
hukumnya menerima nash dinamakan al-mufassar (yang ditafsirkan), dan bila tidak
mengandung takwil dan hukumnya tidak menerima nash, disebut al-muhakkam (yang
ditentukan hukumnya).
Dalam kajian ilmu dilâlah, lafal dapat dibagi menjadi dua, yaitu
lafal yang jelas petunjuknya (wâdhih al-dilâlah) dan lafal yang
tidak jelas petunjuknya (ghayr wâdhih al-dilâlah). Lafal yang
jelas dilâlah-nya adalah lafal yang petunjuknya dapat dipahami tanpa
memerlukan qarinah (indikasi) dari luar lafal. Sedangkan lafal yang
tidak jelas dilâlah-nya adalah lafal yang petunjuknya tidak dapat
dipahami kecuali dengan mendatangkan qarinah (indikasi) dari luar lafal.
Semuanya berangkat dari pemahaman yang sederhana, yaitu pemahaman yang dapat
diambil dengan cepat ketika lafal itu diucapkan. Selanjutnya masing-masing dari
kedua jenis lafal tersebut terbagi menjadi empat tingkat yang saling
berlawanan. Lafal yang jelas petunjuknya terbagi menjadi zhâhir, nashsh,
mufassar, dan muhkam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Wadih Ad-Dhalalah
secara etimologi itu berasal dari dua kata antara wadih dan dhalalah.
Wadih dapat diartikan sebagai lafadz
yang menjelaskan Dhalalahnya. Atau juga bisa di artikan sebagai makna
yang ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa memperhatikan faktor luar .
Jika nash itu menandung takwil, dan yang dimaksudkan bukan tujuan asal susunan
katanya, disebut al-dhahir, jika mengandung takwil, bila yang dimaksudkan
adalah tujuan asal susunan katanya, disebut al-nash, bila tidak mengandung
takwil dan hukumnya menerima nash dinamakan al-mufassar (yang ditafsirkan), dan
bila tidak mengandung takwil dan hukumnya tidak menerima nash, disebut
al-muhakkam (yang ditentukan hukumnya).
Sedangkan Ad-Dhalalah dalam
kajian ini ialah Petunjuk lafazh kepada makna adakalanya berdasarkan
pada bunyi (mantuq, makna eksplisit yang tersirat) dan adakalanya pula
berdasarkan pemahaman (mafhum, makna implisit yang tersirat)
Dasar perbedaan tingkatan-tingkatan kejelasan dalam Wadih
Ad-Dhilalah itu ialah mengenai ada atau tidak adanya kemungkinan
mentakwilkannya. Nash yang maknanya dapat dipahami dari bentuk nash itu
sendiri, dan tidak ada kemungkinan dapat dipahami arti lainnya, maka nash itu
lebih jelas dalalahnya dari pada nash yang maknanya dapat dipahami, tapi ada
kemungkinan dapat dipahami arti yang lainnya
Secara garis besar wadlih
Ad-Dhilalah atau lafaz dari segi kejelasan artinya, terbagi kepada dua macam:
- Lafaz yang telah terang artinya dan jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu beban hukum dapat ditetapkan tanpa memerlukan penjelasan dari luar.
- Lafaz yang belum terang artinya dan belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu
B.
Macam-Macam Wadih Ad-dhilalalh
pengkalsisfikasian Wadih Dilalah menurut Wahbah Zuhaili dalam
bukunya Ushulul fiqh al-Islami dengan Ilmu Ushulul Fiqah karya Abdul Wahab
Khalaf. keduanya mengklasifikasikan Dilalah wadih kepada empat bagian; 1.
Dzhahir 2. Nash 3. Mufassar dan 4. Muhkam. Sehingga ada kemungkinan keduanya
menganut paham Imam Hanafi dalam mengambil Qoidah Ushulul fiqh.
1.
Dzohir
Dzohir secara etimologi; bearti jelas. Sedangkan menurut
terminologinya Menurut Al-Sarkhisi, Dzahir adalah
مَا يُفْهَمُ
الْمُرَادُ مِنْهُ بِنَفْسِ السَّمَاعِ مِنْ غَيْرِ تَأَمُّلٍ
Dari apa-apa yang didengar meskipun tanpa pemahaman
yang mendalam dapat diketahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh pembicara
dengan lafaz itu[2]
Zhâhir, yaitu apa yang menunjukan maksud daripadanya itu dengan
sighat itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhadap urusan
luar. Dan apa yang dimaksudnya itu ialah hal-hal yang menjadi pokok
pembicaraan. Dia mengandung takwil. Bila ada maksud memahami kata-kata tanpa
memerlukan qarinah. Tidak ada maksud asli dari pembicaraan. Kata-katanya itu
di’itibarkan dengan jelas.[3] Sebagaimana
Firman Allah (يَآأَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ )[4]
atau ayat lainya ( الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا ) [5]
kedua Ayat diatas memiliki Dilalah yang cukup jelas sehingga tidak perlu
mentakwilkannya secara lebih ekplisit lagi.
ketika maksud suatu ayat dapat dipahami tanpa memerlukan penukilan
terhadap ma'na lainya, akan tetapi bukan merupakan maksud asli dari konotasi
bahasanya, maka hal itu dapat mengi'tibarkan kalam tersebut keapada-maksud
kalam tersebut secara eksplisit
Contoh: { فَانكِحُوا مَاطَابَ
لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ }[6]
ayat tersebut secara jelas menunjukan ke legalan berpoligami dalam memiliki
istri, tetapi ma'nanya tidak menunjukan kepada arti luas dari ayat tersebut
karena maksud utama dari konotasi ayat tersebut adalah meminimalisir jumlah
istri dari empat atau satu saja sebagaimana diatas.
2.
Nash
Nash menurut definisi para ahli ushul: setiap lafadz yang
menunjukan kepada ma'na atau maksud asli lafadz secara jelas, melalui konotasi
lafadz tersebut dengan menggunakan perangkat takwil, takhsis dan menerima
nasakh (khusus di masa turunya wahyu).
Menurut
Ulama Hanafiyah, nash adalah:
هُوَ مَا دَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى الْمَعْنَى
الْمَقْصُوْدِ أَصَالَةً عَلَى مَا سِيْقَ لَهُ وَ يَحْتَمِلُ التَّأْوِيْلِ
Lafaz yang
dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung
menurut apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan ditakwilkan.[7]
Contohnya: { وَأَحَلَّ
اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا }[8]
disatu pihak ayat tersebut menunjukan pengingkaran "misal" dan di
pihak lain menerangkan perbedaan antara; jual beli dengan riba dari segi halal
dan haramnya. Maksud ayat tesebut jelas yaitu pelegalan jual beli dan
pelarangan riba, sebagai sanggahan terhadap statemen orang Yahudi terhadap riba
yang terdapat pada ayat sebelumnya { إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا }[9]
3.
Mufassar
Menurut
Al-Uddah, mufassar adalah:
مَا يُعْرَفُ
مَعْنَاهُ مِنْ لَفْظِهِ وَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى قَرِيْنَةِ تَفْسِيْرِهِ
Sesuatu lafaz yang dapat diketahui maknanya dari
lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarinah yang menafsirkannya.[10]
Jadi, lafaz mufassar adalah
penunjukannya terhadap maknanya jelas sekali, penunjukannya itu hanya dari
lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarînah dari luar, serta tidak mungkin
dita’wîl-kan[11]
Dalam menerangkan suatu lafadz, Mufasssar terbagi dua bagaian.
·
Bayanu at-Taqrir.
Yaitu suatu keterangan dengan perfikasi takhsisulafdzi, majaz dan
takwil apabila berbentuk umum dan mengubahnya menjadi lafadz muakkad.
·
Bayanu at-Tafsir.
Yaitu suatu keterangan dengan menafsirkan ma'nanya yang tersembunyi
meliputi lafadz tersebut serta menjelaskanya sehingga lebih eksplisit.
4.
Muhkam
Muhkam menurut terminologi para ahli Ushul; Yaitu lafadz yang
menunjukan kepada ma'nanya melalui konotasi lafadz tersebut secara jelas dan
terperinci tanpa menggunakan takwil, takshsis dan nasakh. Hal tersebut karena
lafadz Mufassar menyangkut permasalahan asasi, seperti halnya Ushulul Iman,
Ushulul fadhail dan Qaidah akhlakiah.
Secara jelas, Lafaz yang muhkam
ialah:
مَادَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى
مَعْنَاهُ الْوَضْعِىِّ دَلَالَةً وَاضِحَةً بِحَيْثُ لَايَقْبَلُ الْإِبْطَالَ وَ
التَّبْدِيْلَ وَ التَّأْوِيْلَ
Suatu lafaz
yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan
pembentukan lafaznya secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima
kemungkinan pembatalan, penggantian maupun ta’wil.[12]
Muhkam juga dapat
berarti lafal yang menujukkan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup
kemungkinan untuk di-ta’wil, dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya
tertutup pula kemungkinan pernah dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan
Rasul-Nya. Hukum yang ditunjukkannya tidak menerima pembatalan (nasakh),
karena merupakan ajaran-ajaran pokok yang tidak berlaku padanya nasakh,
misalnya kewajiban menyembah hanya kepada Allah, kewajiban beriman kepada rasul
dan kitab-kitab-Nya, dan pokok-pokok keutamaan, seperti berbuat baik kepada kedua
orang tua, dan kewajiban menegakkan keadilan. Ayat-ayat seperti ini menunjukkan
kepada pengertiannya secara pasti (qath’i), tidak berlaku ta’wil
padanya, dan tidak pula ada kemungkinan telah di-nasakh pada masa
Rasulullah[13]
Contoh ayat
:
tûïÏ%©!$#ur
tbqãBötƒ
ÏM»oY|ÁósßJø9$#
§NèO
óOs9
(#qè?ù'tƒ
Ïpyèt/ö‘r'Î/
uä!#y‰pkà
óOèdr߉Î=ô_$$sù
tûüÏZ»uKrO
Zot$ù#y_
Ÿwur
(#qè=t7ø)s?
öNçlm;
¸oy‰»pky
#Y‰t/r&
4
y7Í´¯»s9'ré&ur
ãNèd
tbqà)Å¡»xÿø9$#
ÇÍÈ
Artinya
: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Maksudnya
kata #Y‰t/r& di
atas adalah bahwa tidak akan diterima kesaksian mereka itu berlaku untuk selama-lamanya,
artinya tidak bisa dicabut.
Dalam kitab Ushulul Fiqh Alislami, Wahbah Zuhuaili
mengkalsisifikasikan Muhkam kepada dua tema;
Pertama ; Muhkam lizâtihi atau muhkam dengan
sendirinya bila tidak ada kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu
disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh
muncul dari lafaz-nya dan diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam
lafaz itu tidak mungkin di-nasakh.[14]
Kedua ; Muhkam
lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak didapatnya lafaz
itu di-nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri
tetapi karena tidak ada nash me-nasakh-nya. Lafaz dalam bentuk
ini dalam istilah ushul disebut lafaz yang qath’i penunjukannya terhadap
hukum.[15]
BAB III
KESIMPULAN & PENUTUP
Setipa Dilalah (Dhohir, Nash, Mufassar dan Muhkam), maka
kedudukanya wajib menjadi sebuah supremasi hukum secara qath'i dan yakin, akaN
tetapi ke-empatnya memiliki kemungkinan pertimbangan, yaitu; ketika terjadi
pertimbangan ma'na terhadap dalil-dalil yang kontradiksi.
Adapun alternatif pengambilan hukum terhadap dilalah yang memang
mengalami kontradisksi, maka setidaknya kita harus memilih dilalah mana yang
paling kuat dari ke-empat macam lafadz tersebut Karena ke-empatnya memiliki
tingkatan hukum serta kekutan ma'na yang berbeda-beda. Adapun tingkatan hukum
yang peling kuat dan jelas menurut tingkatanya adalah: Almuhkam, Mufassar, Nash
dan terakhir Dzohir.
Contoh kontradiksi; antara dzohir dan nash;
Dalam sebuah Ayat {Wa ahllallohu maa waraa'a dzlikum}, dengan ayat
lain: {Fankihuu maa Thoaba lakum min annisa'i mastna wa tsulasa wa rubaa'a}.
Kedua ayat tersebut sama-sama menunjukan kelegalan berpoligami, akan tetapi
ayat pertama berbentuk dzohir, tanpa ada batasan jumlah (red;istri), sedang
pada ayat ke-dua berbentuk nash, karena menunjukan batas jumlah istri dalam
ber-poligami (satu sampai empat istri), serta larangan melebihkannya. Secara
langsung kedua dilalah ini menunjukan sebauh kontradiksi ma'na. Adapun caranya
dengan mendahulukan nash, dengan alasan nash lebih kuat dibandingkan dzohir
dalam pengamalan dan pengambilan istinbath hukumnya, karena nash bersifat
global mencakup kedua dilalah dengan mempertimbangangkan (lafadz dzohir)
sebagai tamtsil terhadap pertimbangan lain yang sepakat dengan nash. Hal ini
sesui dengan kaidah umum ushul fiqh; Al-aqwa yuqoddimu ala adh'ap i'nda
Att-aarud
Sekian Penjabaran dari kami, kami harapkan teman-teman yang lebih
mengerti tentang pembahasn ini dapat membantu dan melengkapi
kekurangan-kekurangan dari makaah kami, kana makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, sekian dan terimakasih.
Daftar pustaka
·
Al-Wadih fi Ushulul Fiqh, Maktabah Darr el-Salam, Kairo, cet I .
Muhammad Abdullah Al-Asyroq, Tahun 2007
·
Al-Qu’an Mushaf Al Bantani, 2010.
·
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008
·
Khallaf,
Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Moh. Zuhri dan Ahamad Qarib,
Semarang: Dina Utama Semarang, 1994.
·
Khallaf,
Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2005.
·
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009
[1] Al-Wadih
fi Ushulul Fiqh, Maktabah Darr el-Salam, Kairo, cet I . Muhammad Abdullah
Al-Asyroq, Tahun 2007 hal 7
Dalam
tataran ilmu dilâlah praktis, yaitu menurut ulama ushul fiqh, maksud
pembicara yang tidak sesuai dengan makna redaksi kalimatnya disebut sebagai isyârat
al-nashsh atau dilâlat al-isyârah. Makna kalimat disebut sebagai `ibârat
al-nashsh atau dilâlat al-`ibârah. Sedangkan informasi obyektif
kalimat disebut sebagai dilâlat al-nashsh atau dilâlat al-dilâlah
[3] Syekh
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, Cet. v, Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2005, h. 200
[4] QS. Al-Hajjj:1
[5] Ibid.An-Nur: 2
[6] Ibid. An-Nisa:3
[14]Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh Jilid 2, Ed. 1, Cet. v, Jakarta: Kencana, 2009, h. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar