Disusun
Oleh :
Ahmad
Mubarok
Imam
Jauhari
Muhammad
Jufri
Kisywahyudi
Ilham
Mahmuddin
FAKULTAS TARBIYAH
PRODI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU
AL-QUR’AN
JAKARTA
2012/2013
BAB
I
PENDAHULUAN
Agama
dan filsafat adalah dua kekuatan yang mewarnai dunia, agama pada pokoknya
adalah iman ( hati,rasa), filsafat pada dasarnya rasio ( akal ), oleh karena
itu wajarlah bila perkembangan budaya selalu dilatar belakangi oleh pergulatan antara
akal dan hati, antara rasio dan iman, antara agama dan filsafat.
Bangsa
yunani sangat patuh dengan agama mereka yaitu penyembahan terhadap dewa-dewi
olympus serta mengimani segala mitosnya, pada zaman ini iman ( agama )
mendominasi, hingga datanglah periode Thales dan para sofis yang lebih
mengedepankan akal dari pada hati/iman, agama atau iman lambat laun tergeser
dominasinya oleh akal yang membuat kacau dengan merelativkan kebenaran.
Pada
periode kacau ini Manusia adalah ukuran semua kebenaran, semua kebenaran
relatif, teori sains diragukan, kaidah agama dicurigai, apalagi para penggagas
relativisme yaitu para Sofies sangat berpengaruh pada periode ini, mereka
dijadikan guru, hakim dan amat dekat berhubungan dengan para kalangan bangsawan
athena, jadi bisa dipastikan semakin kacaulah orang-orang athena.
Hingga
datanglah Socrates, seorang filosof yang meyakini agama ( lihat dalam
pembelaannya melalui apoligia ) ia membawa orang-orang athena kembali meyakini
agama mereka yang dulu serta meyakinkan bahwa tidak semua kebenaran itu relatif
namun ada kebenaran yang umum yaitu definisi( pengertian umum ) namun ajaranya
harus dibayar dengan kematian karena tuduhan kaum sofis yang menganggap ia
perusak mental pemuda athena.
Muridnya
plato melanjutkan perjuangan gurunya melawan kaum sofis dengan membenarkan
kebenaran umum namanya idea, idea telah ada sebelum adanya manusia, tempatnya
di alam idea, lalu hantaman terbesar bagi para sofis adalah aristoteles murid
plato yang menulis kepalsuan logika para sofis.
Dalam
periode ini keadaan hegemoni berubah lagi, akal dan hati, rasio dan iman, agama
dan filsafat sama-sama menang, kaidah agama diterima kembali demikianpun kaidah
filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Demokritos
( 460-370 SM )
Demokritos
(460-370 SM) adalah pendahulu sebuah konsepsi yang akan bertahan lama. Ia
mengawali paham atomisme! Demokritos berasal dari Abdera, dan mencapai puncak
karirnya sebagai pemikir di pertengahan abad ke-5 SM. Dari banyak karya yang
berhubungan dengannya, masih ada sekitar 300 fragments. Dalam fragmen-fragmen
tersebut kebanyakan berbicara tentang filsafat moral.
Pemahaman
akan teori “atomisme” dari Demokritos tergantung dari pendapat-pendapat dan
kritikan Aristoteles atas Demokritos. Sebenarnya, bukan Demokritos yang
menemukan “atomisme”. Leukippos-lah, gurunya, yang menemukan. Sayangnya,
Leukippos tidak banyak meninggalkan laporan atau tulisan. “Menurut beberapa
orang, Leukippos berasal dari Elea, sementara menurut orang lain ia berasal
dari Abdera; ia dulu adalah murid Zenon” (DK 67A 1, Diogenes Laertios, IX 30).
Nama Leukippos biasanya akan diikuti oleh nama muridnya, Demokritos sebagai
pengusul teori “atomisme”:
Demokritos
lahir di kota Abdera di pesisir Thrake di Yunani Utara. Ia hidup kira-kira dari
tahun 460 SM sampai tahun 370 SM. Ia berasal dari keluarga kaya raya. Pada masa
mudanya, ia melakukan perjalanan ke Mesir dan negeri-negeri timur lainnya
sehingga menambah luas wawasan dan pengetahuannya. Di negeri-negeri yang dia
kunjungi, Demokritos banyak melakukan studi. Demokritos dipandang sebagai
seorang sarjana yang menguasai banyak lapangan keahlian. Pengaruh mazhab Elea
dan Pythagoras sangat mencolok dalam pemikirannya. Anekdot yang hidup di zaman
kuno menjulukinya “filsuf yang tertawa” sebagai lawan dari Heraklitos, “filsuf
yang menangis”. Demokritos mewarisi banyak tulisan filosofis dan pengetahuan
ensiklopedia tentang alam, struktur dunia, manusia, roh, pengenalan inderawi,
warna, namun hampir semua teks itu hilang. Yang tersisa hanyalah beberapa
fragmen.
Sebetulnya,
Demokritos tidak boleh dihitung lagi sebagai filsuf pra-sokratik, karena
usianya lebih muda dari Sokrates. Tetapi ada beberapa alasan yang menyebabkan
bahwa Demokritos sebaiknya dibicarakan dalam rangka filsafat pra-sokratik.
Pertama, Demokritos merupakan murid Leukippos, yang termasuk dalam filsafat
pra-sokratik. Ajaran Leukippos tentu tidak dapat dipisahkan dari ajaran
Demokritos yang tidak dipengaruhi oleh filsafat gaya baru yang berkembang di
Athena dalam kalangan Sokrates. Kedua, di Athena, filsafat Demokritos cukup
lama tidak dikenal. Plato tidak mengetahui atomisme, tetapi Aristoteles, yang
juga berasal dari Yunani Utara, menaruh perhatian besar untuk pandangan
atomisme.
Karya
Demokritos diperoleh dari laporan orang kedua, yang kadang-kadang tidak dapat
diandalkan atau bertentangan. Sebagian besar bukti terbaik adalah bukti yang
dilaporkan oleh Aristoteles, yang menghormatinya sebagai saingan penting di
dalam filsafat alam. Aristoteles menulis sebuah risalah pada Demokritos, hanya
beberapa paragraf dikutip dalam sumber-sumber lain yang masih ada. Demokritos
tampaknya mengambil alih dan menyusun pandangan Leukippos, atas beberapa yang
ia ketahui. Meskipun ada kemungkinan untuk membedakan beberapa sumbangan
karya-karya Lekippos, kebanyakan laporan besar menunjuk, baik mereka berdua,
maupun Demokritos sendiri; pengembang sistem atomis pada dasarnya sering
dianggap Demokritos.
Diogenes
Laertius mendaftar banyak karya Demokritos di berbagai bidang, termasuk etika,
fisika, matematika, musik dan kosmologi.[1]Dua
karya, the Great World System dan the Little World System, kadang-kadang
dianggap berasal dari Demokritos, meskipun Theophrastus melaporkan bahwa yang
lebih dulu adalah oleh Leukippos (DK 68A33). Ada ketidakpastian lebih banyak
lagi mengenai keaslian laporan atas pembicaraan etika Demokritos. Dua kumpulan
pembicaraan yang tercantum dalam abad kelima sebelum masehi antologi Stobaeus,
satu dianggap berasal dari Demokritos dan yang lain dianggap berasal dari yang
lain yang tidak dikenal filsuf penganut Demokritos.
1.1
Teori Atom
Filsuf-filsuf
atomis juga berusaha memecahkan masalah yang diajukan mazhab Elea. Di satu
pihak, seperti Empedokles dan Anaxagoras, Leukippos dan Demokritos pun
berpendapat bahwa realitas seluruhnya bukanlah satu, melainkan terdiri dari
banyak unsur. Tapi, di lain pihak mereka bertentangan dengan Empedokles dan
Anaxagoras dalam hal pembagian sampai tak berhingga. Leukippos dan Demokritos
berpikir bahwa ketika membagi-bagi sebuah benda, pembagian itu akan sampai pada
unsur-unsur yang tidak dapat dibagi-bagi lagi. Maka dari itu, unsur-unsur
tersebut diberi nama atom.
Atom
berasal dari kata atomos, berarti
tidak dan tomos berarti terbagi.
Jumlah atom tidak berhingga. Atom-atom merupakan bagian-bagian materi yang
begitu kecil sehingga tidak dapat diinderai.[2] Perbedaan
yang lain lagi dengan anasir-anasir Empedokles dan benih-benih Anaxagoras
adalah bahwa atom-atom itu sama sekali tidak memiliki kualitas tertentu,
misalnya panas, dingin, kering lembab, manis, atau pahit. Semua atom sama. Atom
yang satu berbeda dari atom yang lain karena ukuran dan bentuknya.
Demokritos
memberikan bentuk kepada setiap rasa. Ia mengatakan bahwa yang manis terbuat
dari apa yang berbentuk bulat dan memiliki ukuran yang proporsional; yang pahit
terbuat dari apa yang besar, kasar, dan polygonal serta tidak bulat; yang asam,
sebagaimana namanya menujukkan, terbentuk dari apa yang tajam, bersudut banyak,
bengkok dan halus; rasa yang kasar terbentuk dari apa yang berbentuk bulat
sekaligus halus, bersudut tajam dan bengkok; yang asin terbentuk dari apa yang
berbentuk tajam, tidak terlalu besar, berkelok-kelok, dan kecil ukurannya; yang
rasa lemak terbuat dari apa yang halus, bulat dan kecil (Theophrastes, de caus.
plant VI 16).
Seperti
Empedokles dan Anaxagoras, para atomis juga mengembangkan ajaran materialistis
tentang perubahan (genesis). Tidak ada perubahan secara kualitatif, yang ada
hanyalah perubahan kuantitatif. Atom-atom yang tidak memiliki kualitas itu bisa
berbeda konsentrasinya di tempat yang berbeda-beda. Perubahan kualitatif,
seperti panas atau dingin, keras atau lunak, pahit atau manis, atau warna tidak
lain merupakan perubahan jumlah atau perubahan lokasi dari atom-atom itu.
Perubahan kualitatif hanyalah kesan yang ditangkap secara subyektif oleh panca
indera. Indera menerjemahkan teks alam yang bersifat kuantitatif dan obyektif
itu ke dalam bahasa subyektif yang melukiskan kualitas-kualitas.
Kualitas-kualitas hanya sebenarnya hanya terdapat pada si subyek saja. Dengan
kata lain, kualitas-kualitas bersifat subyektif, meksipun diakibatkan oleh
sesuatu yang obyektif, yakni atom-atom.[3]Misalnya,
berkurangnya jumlah atom di satu titik ditafsirkan oleh indera sebagai “lunak”
atau “asam”. Bagi Demokritos, perubahan
dalam arti sesungguhnya adalah proses di mana atom-atom (sebagai elemen
terakhir yang tak terbagikan lagi) saling bertabrakan secara niscaya, mengikuti
hukum mekanis, untuk berkumpul atau bertebaran tanpa memiliki tujuan apa pun.
Seperti permainan LEGO, elemen-elemennya bisa digunakan secara tak terbatas
untuk mendapatkan macam-macam konstruksi secara tak terbatas.
Saat
atom-atom saling berdekatan dan saling berbenturan atau berlibatan, campuran
yang muncul akan menampak dalam bentuk air atau api atau tumbuh-tumbuhan atau
manusia, tetapi sebenarnya, satu-satunya hal yang ada adalah apa yang disebut
bentuk-bentuk yang tak terbagi – tidak ada yang lain selain itu.
Para
atomis berpendapat bahwa atom-atom itu selalu bergerak. Leukippos dan
Demokritos menganggap gerak atom sebagai gerak spontan karena tidak mengenakan
berat pada atom-atom. Demokritos membandingkan dengan apa yang terlihat, sinar
matahari yang memasuki kamar yang gelap gulita melalui celah-celah jendela,
atau debu yang bergerak ke semua jurusan, meski tidak ada angin yang membuatnya
bergerak. Atom juga bergerak ke segala arah. Kadang-kadang, secara kebetulan
begitu saja, atom itu saling bertabrakan, saling menyenggol dan mendorong satu
sama lainya, saling tersudutkan bersama-sama, bertumpukan membentuk sebuah
konglomerat (latin: conglomero berarti mengumpulkan), bertumpuk-tumpuk, lalu menampak menjadi tubuh
yang kelihatan, dan dengan cara demikianlah kosmos kita terbentuk. Para atomis
merasa tidak perlu untuk menjelaskan penyebab yang mengakibatkan gerak
tersebut. Kembali mereka bertentangan dengan Empedokles dan Anaxagoras atas
pendapatnya mengenai Cinta dan Benci atau nus (roh) sebagai penyebab gerak.
Adanya ruang kosong sudah cukup sebagai syarat yang memungkinkan gerak atom.
Demokritos mengatakan, dunia terdiri dari atom-atom dan ruang kosong.
1.2
Tentang Kekosongan
Bagi
Demokritos, kekosongan adalah “ketiadaan”. “Ketiadaan” itu bagi Demokritos ada!
Argumentasi yang dikatakan Demokritos tampak serba kontradiktif: yang “tidak
ada” ada dan yang “tidak ada” tidak ada. Kekosongan adalah kenyataan yang ada.
Sekarang ketika atom-atom datang bersamaan, mereka menghasilkan generasi;
ketika mereka berpisah satu sama lain, mereka menghasilkan perubahan. Bagi
Leukippos dan Demokritos, atom-atom merupakan elemen positif dalam kenyataan.
Gerakan mereka, bagaimanapun, memerlukan ke’ada’an kekosongan atau vakum.
Kekosongan atau ketiadaan sama ‘ada’nya dengan atom-atom. Oleh karena itu,
setiap ke’ada’an (penampilan fisik), disusun dari beberapa atom-atom yang
terpisahkan satu sama lain oleh kekosongan.[4] Tubuh
yang kelihatan ini, sebagaimana dikatakan Demokritos, bukanlah sebuah “nature”.
Tubuh yang kelihatan ini hanyalah tumpuk-tumpukkan begitu saja dari atom-atom.
Struktur terbentuk, lalu terpecah lagi, dan elemen yang sama bisa dipakai untuk
membentuk struktur yang baru lagi.
Penyebab
gerakan atom-atom adalah ketiadaan, tetapi juga “nature” ketidak-stabilitasan mereka: atom-atom,
secara “nature”, berada dalam gerakan yang tetap atau konstan.
Atom-atom
bergerak dalam kekosongan (yang tiada) berdimensi tak terbatas. Atom-atom
terpisah dari satu sama lain dan dibedakan menurut jumlah, bentuk, letak, dan
urutan. Dalam gerakan mereka, mereka bertubrukan satu sama lain. Sebagai
hasilnya, beberapa terlempar ke arah yang tak tentu di jurusan yang berbeda,
ketika yang lain bercampur dan berpadu dengan tenang karena bentuk, ukuran,
letak, dan susunan mereka yang saling melengkapi/ mengisi: kesatuan ini dengan
satu sama lain dan melipatgandakan kumpulan-kumpulan (DK 67 A 1).[5]
2. Tuhan Dalam Pandangan Filsafat Yunani Kuno
Filosof
pertama Yunani Kuno dalam mencari sumber segala sesuatu dan pencipta makhluk
mereka sampai pada satu konsep yang bernama Tuhan. Mereka berpandangan bahwa
sumber alam semesta terdiri dari empat unsur. Misalnya Thales berpandangan
bahwa sumber segala sesuatu berasal dari air. Demokritus mengganggap bahwa
sumber alam semesta adalah dari api. Sementara filosof lainnya menilai bahwa
sumber segala sesuatu adalah dari udara atau api.
Pembahasan
rinci tentang dewa-dewa dalam pandangan orang-orang Yunani disebutkan dalam karya
Homer dan Hesiod. Apabila kita ingin membatasi pada karya Iliad Homer kita
menyaksikan bahwa redaksi kalimat “Tuhan” nampak yang disebutkan untuk segala
jenis entitas yang aneh. Dalam pemikiran Yunani, gambaran ketuhanan diperoleh
dari gambaran tentang tabiat (nature) dan prinsip yang berlaku di dalamnya.
Yang dimaksud dengan entitas-entitas aneh adalah kekuatan Ilahi yang membuat
orang-orang Yunani mampu menata perbuatan-perbuatan dan pikiran-pikirannya
berdasarkan kekuatan tersebut. Tentu saja Tuhan mereka tidak dapat disamakan
dengan Tuhan Tunggal yang kita kenal saat ini.
Pada
dasarnya, “Terdapat pandangan dan teori-teori ihwal konsep dan keberadaan Tuhan
dalam school of thoughts (aliran-aliran) filsafat, agama-agama dan sejarah,
namun tidak satu pun dari pandangan dan teori ini yang memiliki makna dan
konsep stabil serta tidak berubah-ubah tentang Tuhan.
Di
sini, kami akan mengemukakan tentang sejarah singkat dari tuturan para filosof
Barat tentang Tuhan yang dalam pada itu telah menjawab sebagian pertanyaan yang
Anda kemukakan pada kesempatan ini.
Tuhan
dalam kebudayaan Yunani pada masa sebelum kedatangan Sokrates memiliki dua sisi
berbeda secara asasi dengan gambaran-gambaran lain tentang Tuhan. Dua sisi itu
pada kehidupan dan pujaan manusia. Peran Tuhan dalam pandangan Plato (Pencipta,
ide atau imaginasi) adalah memberikan dan mengadakan unsur-unsur yang ada,
namun gangguan yang terdapat dalam jagad raya dan gambaran sempurna keindahan
jagad raya diperoleh dengan memberdayakan keindahan ide-ide. Tuhan Aristoteles
(Penggerak tak bergerak, Prime Mover) adalah berhubungan dengan dirinya
sendirir. Ia tidak berhubungan dengan ala m ini. Ia bukan pesona. Ia tidak
memperhatikan doa dan keinginan manusia. Dalam mencintai tuhan kita tidak usah
mengharap ia mencintai kita. Ia adalah kesempurnaan tertinggi dan kita
mencontoh kesana untuk perbuatan dan pikiran pikiran kita.[6] Adapun
filsafat Skolastik (abad pertengahan) pandangannya tentang Tuhan berasal dari
dua sumber: Alkitab dan filsafat Yunani.
Para
teolog dan bapa-bapa Gereja memanfaatkan redaksi ayat ini "AKU ADALAH
AKU" dan memaknainya bahwa Allah Swt itu ada dan sumber segala sesuatu.
Karena itu, pencipta alam semesta dan manusia dalam setiap kondisi adalah
tunggal. Namun Tuhan pencipta juga harus berkuasa mutlak dan mahamengetahui
secara mutlak. Secara logis, Tuhan yang Mahakuasa secara mutlak harus nir batas,
self existence (ada dengan sendirinya), abadi dan azali (sarmadi), simpel dan
maha sempurna dari segala sesuatu. Ulasan dan paparan pemikiran filosofis dalam
masalah teologi Kristen mengemuka dengan memanfaatkan beberapa terminologi
Yunani dalam karya-karya teologi ternama, Santo Agustin dan Santo Thomas
Aquinas.[7]
Tuhan
dalam pandangan Santo Agustin adalah Tuhan Alkitab dalam format pemikiran
Plotinus (beriman kepada Tuhan [Esa] sebagai Sumber Pertama). Sesuai dengan
keyakinan Plotinus esa (oknum pertama) yang menciptakan akal universal (oknum
kedua) dan akal universal adalah pencipta jiwa universal (oknum tiga).
Tuhan
dalam pandangan Aquinas adalah Tuhan Alkitab dalam format filsafat Aristoteles.
Aquinas sembari mengikuti jejak langkah filsafat Aristotelian, ia bahkan
menjelajah lebih jauh; karena konsep kepelakuan (agency) dalam pandangannya
adalah kepenciptaan (khaliqiyat) dan kepengaturan (rububiyat). Sementara konsep
penggerak tanpa gerak Aristoteles hanyalah sebab tujuan dan tidak ada kaitannya
dengan penciptaan dan pengaturan jagad raya dan manusia.
Sejatinya,
perbedaan Tuhan para filosof Kristian dan dewa-dewa Yunani dan Romawi adalah
pada sisi kepenciptaan (khâliqiyyah) Tuhan. Perbedaan ini terletak pada akar
realitas bahwa “Ajaran Kristen bukanlah ajaran filsafat melainkan pada dasarnya
merupakan ajaran agama untuk kebahagiaan manusia yang disampaikan oleh Yesus
Kristus, namun filsafat Yunani adalah sebuah metodelogi untuk mengurai dan
memaparkan jagad raya.
Hal
ini merupakan titik pembeda pemikiran Yunani dan pemikiran Kristen. Pasca
filsafat Skolastik, dengan kemunculan Descartes, masa dan abad baru dalam sejarah
metafisika pun bermula. Tuhan dalam filsafat Descartes tidak memiliki derajat
eksistensial melainkan memiliki derajat epistemologikal. “Dalam sistem filsafat
Descartes, Tuhan disandarkan pada pemikiran manusia, baik dari sisi sumber
pemikiran manusia dalam menetapkan keberadaan Tuhan. Dalam filsafat Descartes
Tuhan yang mengemuka adalah Tuhan dalam pandangan epistemologis ketimbang Tuhan
ontologis.
Yang
dimaksud Descartes terkait dengan kalimat “Tuhan” adalah substansi yang tidak
terbatas (sarmadi [abadi dan azali), ada dengan sendirinya, Mahamengetahui
secara mutlak, Mahakuasa secara mutlak yang menciptakan saya sendiri dan segala
sesuatu yang ada.
Dampak
negatif keraguan metodis (cogito ergo sum) Descartes yang sedianya ingin
menetapkan Tuhan secara rasional pada akhirnya menyebabkan munculnya aliran
Skeptisisme, “Kemunculan David Hume di Inggris dan Immanuel Kant di Jerman pada
abad ketujuh belas (17) dan penyebaran karya-karya mereka telah berujung pada
semakin tersudutnya masalah metafisika. Demikian juga pada abad 19, karena
tersebarnya teori-teori ilmiah seperti teori evolusi Darwin dan mekanika Newton
terbentuklah ruang-ruang utama pemikiran Atheisme.
Dalam
teori evolusi, khususnya Tuhan yang digambarkan oleh penganut aliran Deisme
(aliranya yang menyatakan konsep Tuhan gaib yang menggerakan jagad raya pada
masa yang sangat-sangat lampau kemudian meninggalkannya begitu saja) yang
mempersoalkan masalah Tuhan secara serius. Pemikiran mekanis juga
mendeskripsikan segala sesuatu secara mekanis.
Bagaimana
pun, “Meski Tuhan Pencipta (Demiurge) Plato, Penggerak tak bergerak (Prime
Mover) Aristoteles, Tuhan Esa Plotinus, Tuhan Mahakasih orang-orang Gereja
(Bapa langit), substansi nir batas dan Mahapencipta Descartes, Tabiat yang menciptakan tabiat-tabiat
Spinoza (Natura naturans), Yang Menganugerahkan moralitas Kant, Spirit atau ide
mutlak Hegel, kesemuanya menyinggung tentang Realitas Tunggal yang kita sebut
sebagai Tuhan, namun beberapa terma ini sama sekali tidak bermakna satu. Hal
yang patut untuk diperhatikan bahwa orang-orang yang mengingkari dan
orang-orang yang meragukan keberadaan Tuhan juga tidak memiliki pemahaman yang
tunggal dan bersifat tetap.
BAB III
PENUTUP
Demokritos
membedakan pengenalan inderawi dengan pengenalan rasional. Pengenalan inderawi
itu tidak benar, karena tidak memberitahukan bagaimana kenyataan itu sendiri.
Pancaindera tidak mampu mengamati atom-atom. Pengenalan rasional ini
memperkenalkan pada realitas yang sebenarnya. Maka, Demokritos dekat dengan
Parmenides yang juga mengatakan indera tidak dapat dipercaya dan bahwa manusia
harus memihak rasio.
Atomisme adalah suatu aliran filsafat alam yang tidak banyak
diperdebatkan; bukan karena kontraversial, melainkan para ahli filsafat lain
pada umumnya menyetujui pemikiran Democritus dan Leucippus. Apa yang dinamakan
atom oleh Democritus akan terus berkembang sejalan dengan penemuan-penemuan
baru. Atomisme sangat berguna dalam memecahkan apakaah alam sebenarnya?, antara
lain melalui ilmu pengetahuan (sains). Peran lain yang diberikan contohnya
keseimbangan atom dan kekosongan, yang kemudian disebut hukum kekekalan massa.
Bagaimana
pun, “Meski Tuhan Pencipta (Demiurge) Plato, Penggerak tak bergerak (Prime
Mover) Aristoteles, Tuhan Esa Plotinus, Tuhan Mahakasih orang-orang Gereja (Bapa
langit), kesemuanya menyinggung tentang Realitas Tunggal yang kita sebut
sebagai Tuhan, namun beberapa terma ini sama sekali tidak bermakna satu. Hal
yang patut untuk diperhatikan bahwa orang-orang yang mengingkari dan
orang-orang yang meragukan keberadaan Tuhan juga tidak memiliki pemahaman yang
tunggal dan bersifat tetap.
DATAR
PUSTAKA
Drs.Salam.Burhanuddin.Pengantar
Filsafat.2003.Jakarta: PT Bumi Aksara.
Dr.Kebug.Kondrad..Filsafat Itu Indah.2008.Jakarta:
Pusatakaraya.
Drs.Salam.Burhanuddin.Pengantar Filsafat.2003.Jakarta:
PT Bumi Aksara.
http://isyraq.wordpress.com/tuhan-filosof-yunani-dan-teolog-kristen/
Bertens, Kees,
Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, edisi revisi, 1989
[1] http://plato.stanford.edu/entries/democritus/,
diakses dari Jakarta, 10 November 2012
[2] Lih. Bertens, Kees, Sejarah
Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, edisi revisi, 1989,
[3] Lih. Coplestone, Frederick, A
History of Philosophy. Vol. 1, Doubleday, New York, 1993,
[4] Yarza, Ignatius, History of
Ancient Philosophy, Sinag-Tala, Manila, 1994,
[5] Kutipan dalam Yarza, Ignatius,
History of Ancient Philosophy, Sinag-Tala, Manila, 1994
[6] Prof.
DR.Tafsir.Ahmad.Filsafat Umum.2008.Bandung: PT Remaja Rosakarya
[7] Prof.
DR.Tafsir.Ahmad.Filsafat Umum.2008.Bandung: PT Remaja Rosakarya